rumahbacagunungkidul -- Mahkamah
Konstitusi menyidangkan perkara pengujian pasal UU Perkawinan yang pada
pokok perkaranya Pemohon meminta dilegalkan perkawinan beda agama.
Muhammadiyah yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang MK dengan tegas
menolak pernikahan beda agama.
Dalam keterangannya, pihaknya memperkuat
penolakan tersebut berdasarkan perspektif agama Islam. “Berdasarkan
keputusan para ulama Muhammadiyah, wanita muslim haram menikah dengan
selain pria yang beragama Islam dan pria muslim haram menikahi perempuan
musyrikah,” ujar Syaiful Bakri, Ketua Majelis Hukum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, seperti dikutip dari Website Mahkamah Konstitusi, Sabtu,
(25/10).
Syaiful
merupakan pihak terkait dalam perkara pengujian Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada
sidang yang digelar Rabu, (22/10), di Mahkamah Konstitusi.
Keterangannyaitu didasarkan pada aturan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 221.
Dalam
ayat itu, pria Muslim dilarang menikahi wanita yang bukan beragama
Islam. Kendati demikian, Syaiful mengakui adanya perdebatan dalam aturan
tersebut karena ada ayat lain yang membolehkan pria muslim untuk
menikahi wanita-wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), seperti
tercantum dalam surat Al-Maidah ayat 5.
Muhammadiyah
telah menetapkan keputusan pernikahan beda agama tak boleh dilakukan
umat islam. “Ada beberapa alasan yang mendukung keputusan kami, pertama
adalah ahli kitab yang disebutkan dalam Al Quran dengan yang ada
sekarang telah jauh berbeda," jelas Syaiful.
Ia
menambahkan, pernikahan beda agama tak mungkin menghasilkan keluarga
yang sakinah sebagai alasan utama perkawinan. Bahkan tak dapat menjaga
keimanan. Muhammadiyah menegaskan, tak menganjurkan pernikahan beda
agama.
Pada
sidang yang diajukan oleh mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum
Universitas Indonesia tersebut, para Pemohon mengajukan dua orang saksi.
Salah satu saksi, Ahmad Nurcholis merupakan pemeluk agama Islam yang
menikahi seorang perempuan beragama Konghucu.
Ia
mengungkapkan, beragam hal yang menjadi kesulitan atas keputusannya
tersebut. Mulai dari kesulitan pencatatan sipil hingga keraguan para
petugas terhadap parameter “ke-agama-an” yang dimiliki Konghucu.
Bagi
Nurcholis, ada dua aspek yang bisa menjadi pertimbangan. “Pertama
adalah aspek keagamaan dan yang kedua adalah aspek konstitusi. Dalam
aspek keagamaan, mayoritas ulama berkata tidak, meskipun ada
kontroversi. Dalam aspek konstitusi, benar tadi kata para pihak terkait,
ada kekosongan dalam persoalan ini,” Tuturnya. (sp)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Powered by Blogger.