BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) merupakan salah satu organisasi pelajar yang sudah sangat dikenal oleh pelajar dan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Sebagaimana induk dari IPM yakni
Muhammadiyah, IPM seyogyanya adalah organisasi dakwah di kalangan Pelajar
Muhammadiyah pada khususnya dan Pelajar Indonesia pada umumnya.
Ikatan
Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang seyogyanya adalah Gerakan Dakwah, IPM harusnya
menjadi pusatnya organisasi yang mempunyai penggerak dakwah akan tetapi selama
ini yang kita lihat dan kita amati adalah IPM belum menjadi organisasi dakwah
seseungguhnya, dengan alasan gerakan dakwah IPM malahan menjadi gerakan yang kuno dan gerakan orangtua. Oleh sebab
itu maka saya mencoba membuat makalah setidaknya untuk membantu IPM agar
menjadi gerakan dakwah akan tetapi tetap menjadi gerakan pelajar kreatif dan
gaul.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini antara
lain:
Apakah
model dakwah yang cocok untuk IPM?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Dakwah dan Pelajar
Dakwah adalah upaya atau usaha mengajak seseorang
kepada ketaatan terhadap perintah dan ajaran Islam (Anne Ahira dalam http://www.anneahira.com)
Pelajar adalah peserta didik yang sedang
mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran untuk mengembangkan dirinya
melalui jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Peserta didik dalam arti luas.
Peserta didik dalam arti luas adalah setiap orang yang terkait dengan proses
pendidikan sepanjang hayat, sedangkan dalam arti sempit adalah setiap siswa
yang belajar di sekolah (Sinolungan, 1997 dalam blog PD IPM Bandung).
2. Remaja Modern dan Akar Permasalahannya
Menggagas
pendidikan remaja idealnya tetap mengacu pada kondisi remaja kontemporer,
sehingga solusi yang ditawarkan tidak tercerabut dari realitas yang ada. Selain
itu, kita juga mencari jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar seperti
berikut: Siapa sesungguhnya kelompok usia yang disebut remaja itu? Apa
karakteristiknya? Dan bagaimana
situasi yang mereka hadapi pada hari ini, baik secara psikologis maupun sosial?
Tidak
ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa
disebut remaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok
usia peralihan antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20
tahun.[1]
Hilgard menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga aspek penting yang menandai masa
remaja: 1) Terjadinya perubahan fisik (berkembangnya hormon dan organ-organ
seksual), 2) Adanya pencarian dan pemantapan identitas diri, dan 3) Adanya
persiapan menghadapi tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang mandiri.[2]
Fase usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat
tidak stabil dalam tahap perkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum
und drang ‘masa topan badai,’[3] sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai masa turbulence
(masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis
dan sosial remaja.
Sebenarnya, sejauh manakah gejolak yang dialami oleh
remaja pada hari ini? Jika persoalan-persoalan remaja di dalam dan di luar
negeri dihimpun sebanyak-banyaknya, tentu data-data itu akan mengejutkan orang
yang mengamatinya. Sementara, secara kualitatif dan kuantitatif,
persoalan-persoalan remaja tadi tampaknya terus meningkat dari hari ke hari.
Remaja-remaja sekarang ini semakin akrab dengan persoalan
seks, kekerasan, obat-obatan, dan problem psikologis. Perilaku
seks remaja modern semakin bebas dan permisif. Riset Majalah Gatra
beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22 % remaja menganggap wajar cium
bibir, dan 1,3 % menganggap wajar hubungan senggama. Angka ini memang relatif kecil, tetapi
penelitian-penelitian lain menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebagai contoh,
10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di Jawa Tengah mengaku sudah pernah
melakukan hubungan intim.[4] Malah
penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan angka yang sudah cukup
tinggi.[5]
Beberapa remaja di Semarang pernah tertangkap basah oleh
aparat dan warga karena melakukan pesta seks dan mabuk-mabukan, sementara yang
lainnya di Ujung Pandang meninggal dunia di mobil setelah melakukan hal yang
sama. Banyak dari mereka melakukan itu semua bukan karena adanya desakan
ekonomi, melainkan untuk mencari kepuasan semata.[6]
Perilaku seks remaja-remaja di pedesaan ternyata juga tidak terlalu jauh
berbeda dengan perilaku rekan-rekan mereka di perkotaan.
Contoh-contoh statistik serta kasus di atas tentu tidak
sebesar dan seserius yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (lihat Lampiran
1), tapi ada indikasi bahwa kebebasan seksual semakin gencar masuk ke tanah air
bersama dengan tersebarnya budaya global. Media massa dan elektronik yang
banyak mengandung unsur seks dan kekerasan, begitu pula komik-komik porno,
begitu mudah diakses oleh kalangan remaja dewasa ini. Kini, anak-anak kelas 4
hingga 6 SD sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat dewasa tentang
seks, seperti ”Apakah sex swalayan itu?” dan ”Bagaimana cara melakukan seks?”[7]
Sementara, beberapa remaja puteri usia SMU merasa tak segan difoto payudara,
atau malah tubuh telanjangnya, dengan handphone, semata-mata karena bangga
dengan keindahan tubuhnya sendiri.[8]
Angka kekerasan serta konsumsi rokok dan obat-obatan
terlarang juga cukup tinggi di kalangan remaja Indonesia. Data tentang tawuran
di Jakarta pada paruh pertama tahun 1999, sebagaimana diberitakan oleh Media
Indonesia, memperlihatkan bahwa rata-rata dua anak tewas setiap bulannya
karena perkelahian antar pelajar. Pada tahun yang sama, sebuah penelitian
tentang narkoba menunjukkan bahwa paling tidak 60-80% murid SMP di seantero
Yogya pernah mencicipi narkotika, sementara di wilayah-wilayah pemukiman
setidaknya 10 anak baru gede (ABG) di tiap RT pernah merasakan narkotika.[9]
Angka ini juga cukup tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan
narkotika dalam bentuk permen pernah beredar di Jakarta Timur dengan target
konsumen anak-anak SD.[10]
Di beberapa negara asing, seperti di Amerika Serikat dan
Hongkong, tingkat kerentanan psikologis anak-anak remaja sangat tinggi. Majalah
News Week pernah mengangkat seriusnya persoalan remaja di Amerika pasca
penembakan yang menimbulkan kematian lebih dari sepuluh anak di sekolah
Columbine.[11] Salah
satu survey yang diangkat oleh majalah itu menyebutkan bahwa satu dari empat
remaja di Amerika Serikat berpikiran bunuh diri.[12]
Survey American Academy of Pediatrics
belum lama ini malah menunjukkan bahwa 60% pelajar menyatakan bahwa mereka
pernah berpikiran untuk bunuh diri, dan 9% di antaranya pernah mencobanya
paling tidak satu kali.[13]
Sementara itu di Hong Kong, satu dari tiga remajanya berpikiran untuk bunuh
diri.[14]
Di Indonesia, persoalannya tentu tidak seserius itu.
Namun, sejak pertengahan tahun 2003 hingga April 2005 setidaknya ada 30 kasus
upaya bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di tanah air.[15] Tidak semua anak yang berupaya bunuh diri itu mengalami
kematian. Sebagian berhasil diselamatkan dan tetap bertahan hidup. Namun,
hampir semuanya melakukan upaya bunuh diri untuk alasan-alasan yang remeh dan
tak masuk akal, seperti ”rebutan mie instan dengan adik,” ”rebutan remote untuk
nonton AFI di TV,” ”ngambek minta dibelikan buku gambar,” atau karena ”kecewa
tidak dibelikan TV.” Fenomena ini tampaknya belum mengemuka pada dekade-dekade
sebelumnya. Ini semua menggambarkan adanya kerentanan yang cukup serius pada
kondisi psikologis remaja-remaja Indonesia, khususnya pada tahun-tahun
belakangan ini.
Remaja
modern telah menjadi suatu kelompok usia terpisah yang membedakan diri dari
kelompok usia anak-anak dan dewasa. Gejolak
psikologis yang mereka alami terekspresikan keluar dalam berbagai bentuk
dekadensi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Mereka jadi sulit diatur
dan sering bentrok dengan orang tua. Guru dan pihak sekolah pun kesulitan untuk
mengontrol mereka. Remaja-remaja ini berkumpul dengan teman-teman seusia mereka
dan menciptakan budaya teman sebaya (peer culture). Mereka merasa lebih
dekat dengan teman-teman seusia mereka yang memiliki karakteristik sama dengan
mereka. Mereka juga kurang mau mendengar dari orang-orang dewasa yang semakin
jarang berinteraksi dengan mereka[16]
dan tidak selalu memahami gejolak perasaan mereka. Kondisi mereka yang labil
seringkali mendorong terjadinya tekanan teman sebaya (peer pressure)
yang cenderung menjatuhkan mereka ke berbagai hal yang negatif, seperti rokok,
narkotika, kekerasan, dan seks bebas.
Orang-orang dewasa di sekitar mereka, termasuk orang tua
dan guru, mungkin bingung bagaimana seharusnya menyikapi anak-anak remaja. Mau
disikapi sebagai orang dewasa, mereka ternyata belum terlalu matang dan masih
banyak membutuhkan bimbingan. Mau disikapi sebagai anak kecil, lebih tidak
mungkin lagi mengingat perkembangan fisik mereka yang mulai menunjukkan
ciri-ciri orang dewasa.[17]
Akibatnya, kelompok usia remaja menjadi semakin terasing dari dunia orang
dewasa yang idealnya bisa membimbing mereka menuju kematangan dan kemandirian pribadi.
Bagaimanakah fenomena-fenomena ini seharusnya dijelaskan?
Apakah semua itu merupakan hal yang normal terjadi pada remaja? Apakah berbagai
problematika psikologis dan sosial remaja modern juga dialami oleh rekan-rekan
seusia mereka di masa lalu? Ataukah ini hanya menjadi ciri khas dari
remaja-remaja modern? Kita akan mencoba mengurai persoalan-persoalan ini satu
demi satu, sebelum menggagas solusi pendidikan terbaik bagi anak-anak remaja.
Ketika memasuki usia remaja (puber), setiap anak
mengalami perubahan yang sangat signifikan pada fisiknya, terutama yang terkait
dengan organ-organ seksualnya. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan
kecanggungan pada diri remaja karena ia harus menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan tadi. Penyesuaian ini tidak selalu bisa mereka lewati
dengan baik, lebih-lebih bila tidak ada bimbingan dan dukungan dari orang tua.[18]
Bersamaan dengan terjadinya perubahan fisik menuju
kedewasaan, perubahan yang bersifat psikologis juga dialami oleh remaja. Pada
diri mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri. Jika pada waktu
kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir tentang jati diri mereka sendiri, maka
pada masa remaja pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa diri saya?” dan “apa
tujuan hidup saya?”[19]
menjadi persoalan yang sangat penting. Ini sebetulnya pertanyaan yang wajar
bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa, karena pada masa ini mereka sudah
harus mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persoalannya
menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik
dan terus berlarut-larut menggelayuti pikiran mereka.
Berkenaan dengan persoalan jati diri ini, Jane Kroger
mengatakan bahwa “Remaja agaknya merupakan suatu saat … ketika seseorang
dihadapkan dengan persoalan definisi diri.”[20] Sementara Kathleen White dan Joseph Speisman dalam buku
mereka, Remaja, menjelaskan bahwa remaja cenderung, “bergelut dengan isu
mengenai siapa dirinya dan ke mana tujuannya.” Begitu seriusnya mereka dengan
persoalan ini sehingga “barangkali hanyalah pada masa remaja saja individu
dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri.”[21]
Sayangnya, hanya segelintir remaja yang mungkin
benar-benar lulus sebagai ”ahli filsafat moral,” sementara sebagian besar
lainnya justru semakin bingung dan tak peduli dengan apa pun yang ada di
sekitarnya. Banyak yang gagal dalam menemukan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mendasar tadi.[22]
Kegagalan dalam definisi diri membuat remaja mengalami ’kebingungan peran’ (role
confusion)[23] saat
mencari model peran yang akan diikuti.
3. Model Dakwah IPM berbasis hobi (Futsal)
Kita ketahui bahwa usia remaja/pelajar merupakan usia
yang sedang mencari jati dirinya, baik itu positif maupun negatif karena
remaja/pelajar tergantung pada teman-temannya. IPM yang mengabdikan diri
menjadi gerakan dakwah di kalangan pelajar seharusnya mampu dapat merangkul dan
mengembangkan pelajar untuk tidak melenceng pada fitrahnya menjadi manusia
dengan menampung minat dan bakat mereka.
Model dakwah IPM berbasis hobi menurut penulis dapat
dilaksanakan dengan metode Gerakan Dakwah dan Jamaah Dakwah.
Pimpinan IPM terutama Bidang KDI (Kajian Dakwah Islam)
melakukan pemetaan minat dan hobi pelajar di lokasinya dengan kerjasama bidang
lainnya (misal kerjasama dengan Bidang ASBO). Dapat kita sebutkan jika minat
dan hobi pelajar di lokasi Pimpinan IPM di Kabupaten Gunungkidul DIY berminat
olahraga futsal:
Ø Teman-teman PD IPM Gunungkidul Bidang KDI, ASBO, dan
bidang lainnya merancang kegiatan futsal (waktu, tempat dan jumlah pemain)
Ø Setelah hasil mufakat lalu Ipmawan/wati PD IPM Gunungkidul mengajak teman-teman IPM Ranting di
Gunungkidul dapat satu kabupaten maupun satu kecamatan
Ø Mengajak mereka futsal baik itu di lapangan (tidak
wajib harus standar lapangan futsal), sebelum dimulai futsal diawali terlebih
dahulu dengan Basmalah
Ø Selama bermain futsal contohi bermain futsal yang
sportif (karena ini adalah prinsip Islam)
Ø Setelah selesai diakhiri doa
Ø Setelah doa diadakan sharing atau diskusi tentang evaluasi permainan futsal yang sudah
dilaksanakan
Ø Adakanlah follow
up (dapat melakukan dolan bareng ke rumah pemain futsal satu ke yang
lainnya, maupun mengadakan rihlah ke suatu tempat dengan menambah ilmu
islaminya.
BAB
III
PENUTUP
Demikian makalah yang
saya buat, mungkin makalah ini masih membahas kulitnya saja tentang metode
dakwah IPM dengan dikarenakan batas maksimal makalah yang dicantumkan pada
persyaratan peserta PDPM (Pelatihan Dai Pelajar Muhammadiyah) tingkat Nasional
yang hanya sebatas 10 halaman, makalah inipun sudah melebihi batasan syarat maksimal
makalah yang dibuat Bidang KDI PP IPM.
DAFTAR
PUSTAKA
Alatas, Alwi. 2006. Pendidikan Remaja dari Sudut
Pandang Psikologi Islami. images.alwialatas.multiply.multiplycontent.com didownload
pada Senin, 9 Januari 2012
[1]
Batasan usia ini sangat relatif. Pubertas atau baligh mungkin bisa dianggap
sebagai batas awal usia remaja. Adapun batas akhirnya bisa ditinjau dari
beberapa segi. Secara psikologis, seorang remaja dikatakan sudah dewasa bila ia
memiliki tingkat kematangan yang sama dengan orang dewasa. Sementara secara
hukum, batas usia kedewasaan seseorang berbeda-beda menurut hukum yang berlaku
di sebuah negara, biasanya antara 17 dan 21 tahun.
[2] Lihat Ernest R. Hilgard, Rita L.
Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, New York : Harcourt Brace
Jovanovich, Inc., hlm. 88.
[3]
Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hlm. 23.
[4] Gatra,
3 Januari 1998, hlm. 25.
[5]
Penelitian di Jakarta pada tahun 1981 yang berkerja sama dengan Gerakan Remaja
untuk Kependudukan (GRK) dan radio Prambors malah memperlihatkan bahwa 15,3 %
dari responden pernah bersenggama, entah dengan pacar, tante girang, atau
pelacur. Lihat Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, 1981, Pergeseran Norma Perilaku
Seksual Kaum Remaja: Sebuah Penelitian Terhadap Remaja Jakarta, Jakarta : CV Rajawali, hlm.
29.
[6] Gatra,
3 Januari 1998, hlm. 22-24.
[7]
Data-data dihimpun oleh Yayasan Kita dan Buah Hati.
[8] “Narsis atau PD, nih?” dalam Kompas,
1 April 2005, hlm. 49.
[9] Gatra,
24 Februari 2000, hlm. 31.
[11] Untuk kasus penembakan di SMU Columbine
yang menghentak publik Amerika Serikat lihat News Week edisi 3 Mei 1999.
Untuk kasus-kasus lainnya yang sejenis bisa dilihat pada Gatra, 11 April
1998.
[12] Newsweek,
10 Mei 1999, hlm 44.
[14] Time,
15 April 2002 .
[15]
Data dihimpun oleh Yayasan Kita dan Buah Hati dari pemberitaan media-media massa . Tidak tertutup ada kasus-kasus lain yang belum
masuk ke dalam data ini.
[16] Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa di antara hal-hal yang menjadi penyebab remaja bermasalah, rasa kesepian
(loneliness) menempati posisi teratas. Barbara Schneider yang meneliti
7.000 remaja selama 5 tahun menemukan bahwa rata-rata mereka menghabiskan waktu
3,5 jam sendirian setiap harinya. Remaja bisa saja mengklaim bahwa mereka
membutuhkan privasi, tapi mereka juga sangat membutuhkan perhatian yang
ternyata tidak mereka dapatkan. Sebenarnya, remaja-remaja ini sangat berharap
ada lebih banyak orang-orang dewasa dalam kehidupan mereka. Newsweek, 10
Mei 1999, hlm. 42-43.
[17] Alwi Alatas, 2004, Remaja Gaul Nggak
Mesti Ngawur, Jakarta: Hikmah, hlm. 27.
[18]
Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, op.cit. hlm. 52.
[19] Doris
Odlum, seorang dokter Inggris, mengumpulkan banyak pertanyaan yang diajukan
oleh kalangan remaja terkait dengan jati diri mereka. Untuk ini lihat James M. Tanner dan
Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, Jakarta : Tira Pustaka,
hlm. 108-109.
[20]
Jane Kroger, 1989, Identity in Adolescence: The Balance Between Self and
Other, London & New York , Routledge, hlm. 1.
[21]
Kathleen M. White and Joseph C. Speisman, 1989, Remaja, Kuala Lumpur,
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, hlm. 85.
[22]
Alwi Alatas, 2005, (Untuk) 13+, Remaja Juga Bisa Bahagia, Sukses, Mandiri,
Jakarta : Pena,
hlm. 8.
[23]
Tentang pembahasan role confusion, lihat Ernest R. Hilgard, Rita L.
Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, op.cit.
hlm. 92