“Hidup adalah perjuangan”
Ungkapan yang menghias dinding kelas itu, sangat benar adanya, ucapku dalam hati. Aku terhanyut dalam lamunan. Aku teringat seorang teman seperjuanganku di IPM, namanya Anis. Dia seorang gadis periang, meskipun berasal dari keluarga pas – pasan. Orang tuanya hanya buruh tani, dia memiliki seorang adik laki – laki yang saat ini duduk dikelas 3 SMP. Sedangkan Anis sendiri, saat ini kelas 3 SMK.
Memang, mereka hanya dua bersaudara. Tapi, kebutuhan hidup yang semakin lama semakin mahal membuat Anis harus bekerja lebih keras membantu orang tuanya mencari nafkah. Hmm… ironis sekali ya, disaat banyak orang kekurangan. Justru banyak pula pemimpin yang tidak amanah. Mereka menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan mereka pribadi… Hufft… Aku menghela nafas dalam – dalam dan menghembuskannya perlahan lalu tersenyum. Mengapa aku memikirkan kesalahan orang lain ya? Apakah aku merasa lebih baik dari mereka. Tidak!! Seharusnya aku mawas diri dulu.
Tiba – tiba terdengar suara yang membuyarkan lamunanku.
“Nayla, hari ini kita jadi rapat kan?”
“Eh… Anis,” kataku seraya menoleh “Jadi donk! Tapi, tunggu teman – teman yang lain ya, mereka sedang sholat Ashar.” Lanjutku kemudian tersenyum diiringi anggukan Anis. Dia memang jarang bicara. Bagi Anis, diam itu emas. Prinsipnya ‘Bicaralah yang baik jika tidak bisa maka lebih baik diam’. Memang, tidak selamanya diam itu emas. Sesekali Anispun bicara. Tapi, seperlunya saja. Bukankah Allah menciptakan satu bibir dan dua telinga untuk manusia. Jadi, secara tidak langsung, Allah menginginkan kita untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Anis segera berlalu, pandanganku mengikuti tubuh Anis yang cukup tinggi, kepalanya dibalut kerudung lebar. Anis menghilang di balik pintu kelas. Pasti belajar lagi, begitu pikirku. Anis, kau benar – benar membuatku cemburu. Kau selalu memanfaatkan waktumu sebaik mungkin.
dcdcdc
“Demikian, rapat IPM hari ini, saya sebagai pembawa acara mohon maaf atas kesalahan saya. Nuun Walqolami wamaa yasthuruun. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.” Kataku mengakhiri rapat.
“Wa’alaikumussalam Wr. Wb.” Jawab mereka yang menghadiri rapat lalu segera berlalu, kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul 16.30.
Aku pulang paling akhir, karena sebagai sekretaris panitia, aku harus menyusun proposal untuk kegiatan minggu depan. Setelah mengunci ruang IPM, aku bergegas menuju parkiran. Benar dugaanku, hanya motorku yang masih tersisa disana. Segera kupacu sepeda motorku ke jalan raya. Sudah sore, aku harus segera tiba dirumah. Bunda telah menunggu.
“Anis…” ucapku lirih saat melihat Anis masih berada di terminal. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan angka 17.00. Akupun menghampiri Anis.
“Anis… kenapa belum pulang?” tanyaku masih tetap diatas motor.
“Belum ada bus, La” jawab Anis lalu tersenyum, tampaknya tidak tersirat sedikitpun rasa gelisah diwajahnya. Sungguh tenang. Jika aku jadi Anis, aku belum tentu bisa sabar, pasti aku sudah uring – uringan.
Hmm… aku berkata dalam batin, ingin rasanya aku mengantarkan Anis pulang. Tapi, Bunda telah menanti kehadiranku di rumah. Sedangkan jika aku tidak mengantarkan Anis, dia mau pulang pakai apa? Jalan Kaki? Rasanya tidak mungkin, jarak antara rumah dan sekolahnya sekitar 7 km. Pilihan yang sulit. Akhirnya, . Setelah terdiam beberapa saat. Aku putuskan memilih Bunda.
“Maaf ya Anis, aku gak bisa mengantarkanmu, soalnya udah ditunggu Bunda dirumah.” Ucapku dengan penuh penyesalan.
“Gak apa – apa koq, aku kan bisa jalan kaki. Santai aja, aku udah biasa koq.” Jawabnya masih dengan senyum mengembang. Akupun memacu motorku lagi.
dcdcdc
Sesampainya dirumah, benar saja, Bunda telah menantiku di teras rumah.
“Ayo Bun, Nayla antarkan ke rumah sakit” kataku tanpa bertukar pakaian dulu. Adikku masuk rumah sakit, sehingga kami harus bergantian menjaga adik. Bunda segera naik ke atas motor.
“Bun… Tadi teman Nayla ada yang gak bisa pulang lho. Kehabisan Bus, jadi harus jalan kaki. Padahal jaraknya sekitar 7 km.” kataku mulai bercerita saat jalanan mulus.
“Lho? Koq gak kamu anterin pulang?” Tanya Bunda
“Soalnya Bunda minta dianterin ke rumah sakit.”
“Oh iya… waduh Nayla, kalo tau begitu, tadi Bunda berangkat bareng Ayah aja.” Jawab Bunda sepertinya ikut menyesal.
dcdcdc
“Anis, kemarin kamu sampai rumah jam berapa?” tanyaku saat bertemu Anis di Perpusatakaan
“Sekitar jam setengah tujuh malam.”
“Kamu dimarahi orangtuamu ya?”
“Enggak koq, mereka hanya khawatir saja. Itu karena mereka sayang padaku.”
“Anis… kalo boleh jujur, aku cemburu padamu. Kau begitu mencintai IPM lebih dari dirimu sendiri. Bahkan kau rela berkorban untuk IPM.”
“Nayla, jangan berlebihan memujiku. Aku tidak sebaik seperti yang kau pikirkan. Lagi pula, itu bukan ‘Pengorbanan’ melainkan Pengabdian.”
“Ah, Anis, andai saja semua pengurus IPM seperti dirimu. Tapi, rasanya Sulit sekali! Lihat saja kemarin, yang mau hadir dalam rapat, tidak ada separuhnya dari 40 orang. Padahal, aku yakin mereka punya waktu dan kesempatan untuk hadir. Hanya saja, Banyak sekali yang mencari – cari alasan untuk tidak hadir.
Aku jadi teringat perkataan seseorang bahwa mencari waktu luang memang tidak akan ada. Tapi, yang ada itu meluangkan waktu. Seandainya mereka mau meluangkan waktu sebentar saja untuk IPM, seperti meluangkan waktu untuk makan”.
“Iya, Nayla. kau benar. Tapi, semua orang memiliki karakter sendiri – sendiri. Kan lucu, kalo semua orang seperti aku. Dunia akan penuh dengan pejalan kaki. Bisa – bisa ada peraturan yang melarang bawa kendaraan…” Jawab Anis berseloroh. Kamipun tertawa.
Anis… Anis… Sekali lagi kukatakan, aku cemburu padamu. Kau sangat baik. Walaupun begitu, tetap saja ada orang yang dengki dan mencelamu. Namun, kau tetap sabar. Andai aku bisa sepertimu… kataku dalam hati.
Tapi, kapan? Hmm… Entahlah… biar waktu yang menjawab.