rumahbacagunungkidul -- Masyarakat menilai, bahwa Muhammadiyah alergi dengan ritual tradisi, yang selama ini berkembang di tanah air. Muhammadiyah beranggapan bahwa tradisi selamatan mengandung unsur kesyirikan yang merugikan amalan agama. 

Padahal, seperti Islam di Arab Saudi, pada waktu kedatangannya, bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. 

Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.

Ada pengalaman menarik kawan saya Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tegalombo, Pacitan, bercerita; Saat dirinya ditugaskan menjadi kepala sekolah di pelosok desa, setiap kali ada kenduri atau selamatan, ia mendapat undangan kenduri dari penduduk setempat. Dalam hatinya terbentang pikiran, bagaimana momen seperti ini bisa dijadikan ladang dakwah Muhammadiyah agar Muhammadiyah bisa dikenal lekat oleh masyarakat. 

Oleh karena itu, kesempatan yang diberikan pada dirinya untuk memimpin doa pada ritual itu, ia tidak menolaknya dan membuang begitu saja kesempatan emas itu. Maka istilah ‘danyang’ digantinya dengan malaikat sang penjaga alam semesta. Dan istilah ‘arwah’ diganti dengan ‘gagasan kebaikan para pendahulu yang masih lestari’ . Sedangkan ‘sesaji’ adalah sedekah yang dibagikan kepada sesama sebagai ungkapan syukur atas karunia nikmat hasil alam yang melimpah. 

“Saudara-saudara… tumpeng dari nasi putih ini adalah lambang gunung dan bukit yang memberikan manfaat kepada manusia dalam hidup di dunia ini. Karena dari bukit, Allah berikan tanaman, sayur-sayuran, buah-buahan, aneka binatang, batu, dan sumber air yang memancar memberikan kesejukan. Di sana ada danyang, yang tidak lain adalah malaikat yang diutus oleh Allah untuk menjaga alam dan isinya. Maka kalau manusia merusak, maka malaikat segera melaporkan, dan Allah memberi azab bencana alam kepada kita. 

Dan itu telah dicontohkan oleh leluhur, nenek moyang pendahulu kita. Oleh karena itu, marilah alam kita jaga, gagasan para leluhur kita yang sudah meninggal kita lanjutkan, janganlah merusak alam dan lingkungan kita. Sebab jika kita melanggarnya, maka bencana alam itu pasti datang. Begitulah semestinya tindakan kita untuk menghormati para leluhur kita. Yaitu berbuat baik kepada sesama, dan berbuat baik kepada alam semesta. Dan sebagai rasa syukur hari ini, maka dengan makanan yang ada saat ini, kita niatkan untuk bersedekah, kita bagikan nikmat ini kepada semua warga. Dengan harapan kita menjadi warga yang senantiasa bersyukur, bersilaturahim, saling tolong menolong, dan peduli kepada alam semesta untuk selalu menjaga, agar alam kita tidak rusak, dan kita tidak mendapat bencana berupa kekurangan air, kekurangan sayur dan kekurangan bahan makan. Demikianlah, saudara-saudara, maksud kenduri hari ini. Dan sekarang marilah kita berdoa, agar Allah terus memberikan kenikmatan kepada kita baik di dunia dan akhirat”

Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara Muhammadiyah mengingatkan para pelaku dakwah sekarang ini (muballigh/da’i) untuk pandai memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang hanya sekadar budaya lokal. 

Metode dakwah al-Qur’an yang sangat menekankan “hik-mah dan mau’idzah hasanah” adalah tegas-tegas menekankan pentingnya “dialog intelektual”, “dialog budaya”, “dialog sosial” yang sejuk dan ramah terhadap kultur dan struktur budaya setempat. Hal demkian menuntut ‘kesabaran’ yang prima serta membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dakwah ujung-ujungnya adalah merubah kebiasaan cara berfikir (habits of mind) masyarakat.

Dai Muhammadiyah kiranya perlu menyontoh semangat ‘walisongo’ dalam beradaptasi dengan masyarakat tradisional yang ada di pedesaan. Caranya menanamkan akidah dan syariat dalam ritual tradisi dengan memperhatikan kondisi kejiwaan masyarakat. Kita jangan alergi dengan kenduri, selamatan, bersih desa dan selamatan pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga yang ada di masyarakat. 

Tunjukkan kepada mereka, bahwa Muhammadiyah dapat memimpin doa dengan rukun doa dan syarat doa yang sesuai dengan tuntunan Islam. Dan kesempatan demikian inilah yang harus bisa dimanfaatkan oleh Muhammadiyah sebagai lahan dakwah yang sangat strategis, dalam upayanya mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat, dalam rangka membangun masyarakat cerdas Islami.

Penulis: 
Ki Setyo Harjodarsono
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

0 comments:

Post a Comment

MARI BERKOMENTAR DENGAN BIJAK DAN SOPAN, KARENA ITU AKAN MENCERMINKAN SOSOK ORANGNYA

Powered by Blogger.
 
Rumah Baca Gunungkidul © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top