rumahbacagunungkidul -- Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Profesor Yusuf Suyono (Antara,27/10) menilai dakwah yang bersifat kultural mendesak dilakukan bagi organisasi kemasyaratan tersebut. "Sebagaimana diamanatkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin. Memang benar, itu (dakwah kultural, red.) bagi Muhammadiyah sudah mendesak," katanya di Semarang, Minggu malam.

Menurut Yusuf, pengertian dakwah kultural adalah menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya. "Seperti halnya yang dilakukan Walisongo. Kita harus akui bahwa islamisasi nusantara bisa berhasil karena dai-dainya melakukan pendekatan kultural dalam berdakwah, bukan teologis, dan sekarang saya tidak mengerti, padahal dulu-dulu itu (Muhammadiyah, red.) menggunakan dakwah kultural, tetapi sekarang kok `kayak` anti. Oleh karena itu, memang benar dakwah kultural bagi Muhammadiyah mendesak dilakukan" kata Yusuf.

Prof. Abu Su`ud budayawan yang juga tokoh Muhammadiyah juga katakan "Sewaktu saya jadi ketua (Ketua PW Muhammadiyah Jateng, red.) pernah nanggap gamelan di acara Muhammadiyah, memang banyak tentangan. Ada yang bilang saya ini aneh-aneh `ngundang` ronggeng, padahal, kata dia, lirik-lirik yang dinyanyikan sebenarnya shalawat, menggunakan bahasa Arab, dan mengandung ajaran keislaman yang disampaikan lewat sarana budaya tradisional, yakni gamelan , jadi intinya mereka banyak yang belum paham. Dakwah itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk lewat budaya seperti yang dilakukan Walisongo. Itu hanya sebagai cara, bukan menjadi tujuan," kata Abu Su`ud. 

Baik Muhammadiyah cetakan Jawa maupun Muhammadiyah cetakan sabrang sama sama dihadapkan kepada tantangan dakwah yang dahsyat. Era industrialisasi yang tengah berlangsung ini jadikan hikmah kepada semua gerakan Islam, khususnya serta Muhammadiyah umumnya , untuk pintar-pintar gali dan ciptakan budaya Islami, yang kontektual dan mantap. 

Kuntowijoyo pernah berpendapat, Muhammadiyah sudah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Saya beranggapan bahwa selama ini Muhammadiyah belum mendasarkan program dan strategi kegiatan sosialnya atas dasar elaboratif. Akibatnya adalah bahwa Muhammadiyah tidak pernah siap merespon tantangan-tantangan perubahan sosial yang empiris yang terjadi di masyarakat atas dasar konsep, teori dan strategi yang jelas. Selama ini Muhammadiyah masih belum dapat menerjemahkan siapa yang secara sosial-objektif dapat dikelompokkan sebagai kaum duafa, masakin, fuqoro dan mustadh’afin. Pertanyaan tentang siapakah yang dimaksud dengan kelompok kelompok itu dalam konteks sosialnya yang objektif, belum pernah diaktualisasikan secara jelas

Proses industrialisasi bukan saja akan mengubah kawasan agraris menjadi kawasan industri, tapi pada waktu yang sama akan menciptakan sosok manusia “liar” kompetitif yang jarang punya kesempatan untuk tersenyum. Ini jika kita melihat fenomena sosial di beberapa negara Industri :barat dan Jepang. Kita belum dapat memperkirakan secara pasti tentang bagaimana situasinya sekarang sebuah negeri Muslim menjadi negeri Industri. Jika keadaaanya tidak berbeda negeri negeri industri diatas, maka sejak dini kita katakan bahwa Islam pada waktu itu sudah tergusur mejadi kekuatan marginal yang tidak bermakna. Muhammadiyah sampai hari ini belum siap secara mantap dengan strategi budaya untuk menghadapi serba kemungkinan itu. Kendalanya adalah sumberdaya manusia yang ada sedikit sekali punya peluang untuk merenung dan merumuskan strategi itu. Komitmen Islam mereka tidak diragukan lagi. Yang sulit adalah mencari peluang yang cukup untuk berfikir serius dan mendalam mengenai maslah Islam dan ummatnya. Sebagian besar kita berada dalam pasungan kesibukan yang non-kontemplatif itu .Saya pribadi tidak tahu bagaimana caranya (Muhammdiyah) keluar dari himpitan kesibukan yang amat melelahkan ini.

Lantas apakah Muhammadiyah pernah keluar dari kultur kampung sepanjang sejarahnya ? menurut Kuntowijoyo, jawabannya adalah negatif. Dia menulis : “Secara Historis Muhammadiyah sesugguhnya terbentuk dari kultur kampung. Kalau dulu saya pernah mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah mempunyai hubungan erat dengan lingkungan sosio ekonomi dan kultural masyarakat kota., pernyataan ini benar dalam hal perbedaanya dengan latar belakang NU yang berbasis pada kultur agraris –desa. Tapi pernyataan itu harus direvisi, karena ternyata pada awal abad ke -20, saat ketika Muhammadiyah didirkian di Yogyakarta, kehidupan kota sesungguhnya lebih dikuasai oleh kaum priyayi, komunitas Belanda, dan komunitas Cina. Di Malioboro ada tempat peribadatan Cina, juga tempat peribadatan Free Mansory dari ‘Societeit’ Belanda, tapi tidak ada Masjid. Masjid Besar yang ada di keraton, sementara itu cenderung berada di bawah pengawasan kultural kejawen. Kita melihat bahwa Islam ketika itu merupakan fenomena pinggiran, berada di kampung-kampung .Dengan demikian sebenarnya basis sosial Muhammadiyah dan NU tidak banyak berbeda yaitu sam sama basis sosial wong cilik. Keadaan ini secara substansial menurut pengamatan saya belum banyak mengalami perubahan, bukan saja di Yogyakarta dan di Jombang, tempat kelahiran kedua gerakan Islam yang dipandang mewakili arus besar Islam di Indonesia, tapi juga di seluruh nusantara. Kita masih belum beranjak jauh dari kawasan wong cilik. Bagaimana keadaannya 25 tahun mendatang, saya tidak tahu”pungkasnya. 

Sayang, strategi dakwah Muhammadiyah yang semula bertujuan hendak menggarami kehidupan budaya bangsa dengan nilai nilai Islam yang handal dan berkualitas tinggi, namun sampai sekarang belum menampakkan hasil. Bahkan saya menilai, Muhammadiyah dalam hal budaya terasa tandus, kering, monoton, dan tidak menarik masyarakat luas untuk mengikutinya. 

Hal ini mungkin karena pemahaman yang sempit terhadap dogma-dogma nilai budaya pada aspek religi. Sehingga dai-dai Muhammadiyah takut dicap ahli bidah, takut dicap wahabi dan sebagainya. Maka terasakan sekarang ini dakwah Muhammadiyah kurang luwes, monoton, semakin tidak diminati masyarakat karena sering para dai-nya mengusik ‘kemapanan’ budaya masyarakat tanpa berikan solusi yang cerdas, halus, dewasa , dan sejuk. Sehingga masyarakat menilainya bahwa Muhammadiyah hanya sebagai pengganggu kondisifitas budaya yang sudah mapan. Masyarakat menilai, Muhammadiyah tidak kratif dalam budaya. 

Oleh karena itu, sudah saatnyaMuhammadiyah sekarang untuk melakukan kaji ulang terhadap keberadaan, model dakwah, serta kiprah dan cara pandang tentang budaya dari gerakan yang didirikan oleh KHA Dahlan ini. Muhammadiyah harus bisa merubah mindset masyarakat dari antipati kepada Muhammadiyah menjadi simpati. Marubah dakwah yang kaku, menjadi dakwah berbudaya yang sejuk, luwes, cerdas (bisa membawa diri , dan bisa berikan solusi yang berkelanjutan) serta dewasa tidak profokatif, sesuai dengan budaya masyarakat yang dijadikan lahan dakwahnya. 

Sebenarnya banyak lahan garap yang bisa diperankan oleh Muhammadiyah saat ini. Kebiasaan masyarakat yang sudah lama melembaga ini bisa digarami, bisa diberi bumbu yang lebih sedap (tanpa mengusik keberadaannya), sehingga masyarakat termotivasi lagi untuk hidup guyub rukun dengan sesama muslim, tidak timbulkan rasa saling curiga. Dan dalam kesehariannya masyarakat menjadi gemar mengaji,gemar belajar, gemar bekerja keras , gemar bersedekah, gemar bergotong royong, gemar memakmurkan masjid, dan sebagainya. Jadi budaya lama yang tadinya hanya ritual rutin – belum terlalu bermakna dalam hidup dan kehidupan- maka Muhammadiyah harus bisa tampilkan budaya baru yang lebih cerdas proporsional, sesuai dengan Islam seperti yang diharapkan oleh Muhammadiyah sejak dari dulu. Ingat!, dakwah itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk lewat budaya seperti yang dilakukan Walisongo. Itu hanya sebagai cara, bukan menjadi tujuan. Akan tetapi, jika Muhammadiyah tidak lakukan kompromi dengan budaya yang telah mapan, maka posisi Muhammadiyah jadi tidak berwibawa. Semakin sempit lahan dakwahnya, dan semakin dijauhkan oleh masyarakat. (Ki Setyo)

Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

0 comments:

Post a Comment

MARI BERKOMENTAR DENGAN BIJAK DAN SOPAN, KARENA ITU AKAN MENCERMINKAN SOSOK ORANGNYA

Powered by Blogger.
 
Rumah Baca Gunungkidul © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top